Sejarah
Veldpolitie di
Malang (sekitar 1930)
Kedudukan, tugas, fungsi, organisasi, hubungan dan tata cara kerja kepolisian pada zaman Hindia Belanda tentu diabdikan untuk kepentingan pemerintah
kolonial. Sampai jatuhnya
Hindia Belanda, kepolisian tidak pernah sepenuhnya di bawah Departemen Dalam Negeri. Di Departemen Dalam Negeri memang berkantor "
Hoofd van de Dienst der Algemene Politie" yang hanya bertugas di bidang administrasi/pembinaan, seperti kepegawaian, pendidikan SPN (Sekolah Polisi Negeri di Sukabumi), dan perlengkapan kepolisian.
Wewenang operasional kepolisian ada pada residen yang dibantu asisten residen. Rechts politie dipertanggungjawabkan pada procureur generaal (
jaksa agung). Pada masa Hindia Belanda terdapat bermacam-macam bentuk kepolisian, seperti veld politie (polisi lapangan) , stands politie (polisi kota), cultur politie (polisi pertanian), bestuurs politie (polisi pamong praja), dan lain-lain.
Sejalan dengan administrasi negara waktu itu, pada kepolisian juga diterapkan pembedaan jabatan bagi bangsa Belanda dan pribumi. Pada dasarnya pribumi tidak diperkenankan menjabat hood agent (bintara), inspekteur van politie, dan commisaris van politie. Untuk pribumi selama menjadi agen polisi diciptakan jabatan seperti mantri polisi, asisten wedana, dan wedana polisi. Demikian pula dalam praktik peradilan pidana terdapat perbedaan kandgerecht dan raad van justitie.
[rujukan?]Pada masa pendudukan Jepang 1942-1945, pemerintahan kepolisan Jepang membagi Indonesia dalam dua lingkungan kekuasaan, yaitu:
- Sumatera, Jawa, dan Madura dikuasai oleh Angkatan Darat Jepang.
- Indonesia bagian timur dan Kalimantan dikuasai Angkatan Laut Jepang.
Dalam masa ini banyak anggota kepolisian bangsa Indonesia menggantikan kedudukan dan kepangkatan bagi bangsa Belanda sebelumnya. Pusat kepolisian di Jakarta dinamakan keisatsu bu dan kepalanya disebut keisatsu elucho. Kepolisian untuk Jawa dan Madura juga berkedudukan di Jakarta, untuk Sumatera berkedudukan di Bukittinggi, Indonesia bagian timur berkedudukan di Makassar, dan Kalimantan berkedudukan di Banjarmasin.
Tiap-tiap kantor polisi di daerah meskipun dikepalai oleh seorang pejabat kepolisian bangsa Indonesia, tapi selalu didampingi oleh pejabat Jepang yang disebut sidookaan yang dalam praktik lebih berkuasa dari kepala polisi.
Beda dengan zaman Hindia Belanda yang menganut HIR, pada akhir masa pendudukan Jepang yang berwenang menyidik hanya polisi dan polisi juga memimpin organisasi yang disebut keibodan (semacam hansip).
[rujukan?]Tidak lama setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada
Sekutu, pemerintah militer Jepang membubarkan
Peta dan
Gyu-Gun, sedangkan polisi tetap bertugas, termasuk waktu
Soekarno-
Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Secara resmi kepolisian menjadi kepolisian Indonesia yang merdeka.
Inspektur Kelas I (Letnan Satu) Polisi
Mochammad Jassin, Komandan Polisi di Surabaya, pada tanggal 21 Agustus 1945 memproklamasikan kedudukan polisi sebagai Polisi Republik Indonesia menyusul dibentuknya Badan Kepolisian Negara (BKN) oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945. Pada 29 September 1945 Presiden RI melantik Kepala Kepolisian RI (Kapolri) pertama Jenderal Polisi R.S.
Soekanto. Adapun ikrar
Polisi Istimewa tersebut berbunyi:
“Oentoek bersatoe dengan rakjat dalam perdjoeangan mempertahankan Proklamasi 17 Agoestoes 1945, dengan ini menyatakan Poelisi Istimewa sebagai Poelisi Repoeblik Indonesia.”[rujukan?] [sunting]Kepolisian pasca proklamasi[rujukan?]
Setelah proklamasi, tentunya tidak mungkin mengganti peraturan perundang-undangan, karena masih diberlakukan peraturan perundang-undangan Hindia Belanda, termasuk mengenai kepolisian, seperti tercantum dalam peraturan peralihan UUD 1945.
Tanggal 1 Juli 1946 dengan Ketetapan Pemerintah No. 11/SD/1946 dibentuk Djawatan Kepolisian Negara yang bertanggung jawab langsung kepada perdana menteri (pada saat itu Pusat/Mabes Kepolisian Negara berkedudukan di Purwokerto Jawa Tengah). Semua fungsi kepolisian disatukan dalam Jawatan Kepolisian Negara yang memimpin kepolisian di seluruh tanah air. Dengan demikian lahirlah Kepolisian Nasional Indonesia yang sampai hari ini diperingati sebagai Hari Bhayangkara.
Hal yang menarik, saat pembentukan Kepolisian Negara tahun 1946 adalah jumlah anggota Polri sudah mencapai 31.620 personel, sedang jumlah penduduk saat itu belum mencapai 60 juta jiwa. Dengan demikian “police population ratio” waktu itu sudah 1:500. (Pada 2001, dengan jumlah penduduk 210 juta jiwa, jumlah polisi hanya 170 ribu personel, atau 1:1.300)
[rujukan?]Sebagai bangsa dan negara yang berjuang mempertahankan kemerdekaan maka Polri di samping bertugas sebagai penegak hukum juga ikut bertempur di seluruh wilayah RI. Polri menyatakan dirinya “combatant” yang tidak tunduk pada Konvensi Jenewa. Polisi Istimewa diganti menjadi Mobile Brigade, sebagai kesatuan khusus untuk perjuangan bersenjata, seperti dikenal dalam pertempuran 10 November di Surabaya, di front Sumatera Utara, Sumatera Barat, penumpasan pemberontakan PKI di Madiun, dan lain-lain.
Pada masa kabinet presidential, pada tanggal 4 Februari 1948 dikeluarkan
Tap Pemerintah No. 1/1948 yang menetapkan bahwa Polri dipimpin langsung oleh presiden/wakil presiden dalam kedudukan sebagai perdana menteri/wakil perdana menteri.
Pada masa revolusi fisik, Kapolri Jenderal Polisi R.S.
Soekanto telah mulai menata organisasi kepolisian di seluruh wilayah RI. Pada Pemerintahan Darurat RI (PDRI) yang diketuai Mr.
Sjafrudin Prawiranegara berkedudukan di Sumatera Tengah, Jawatan Kepolisian dipimpin KBP
Umar Said (tanggal 22 Desember 148).
[rujukan?][sunting]Zaman Republik indonesia Serikat (RIS)[rujukan?]
Hasil
Konferensi Meja Bundar antara Indonesia dan Belanda dibentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), maka R.S. Sukanto diangkat sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Negara RIS dan R. Sumanto diangkat sebagai Kepala Kepolisian Negara RI berkedudukan di Yogyakarta.
Dengan Keppres RIS No. 22 tahun 1950 dinyatakan bahwa Jawatan Kepolisian RIS dalam kebijaksanaan politik polisional berada di bawah perdana menteri dengan perantaraan jaksa agung, sedangkan dalam hal administrasi pembinaan, dipertanggungjawabkan pada menteri dalam negeri.
Umur RIS hanya beberapa bulan. Sebelum dibentuk Negara Kesatuan RI pada tanggal 17 Agustus 1950, pada tanggal 7 Juni 1950 dengan
Tap Presiden RIS No. 150, organisasi-organisasi kepolisian negara-negara bagian disatukan dalam Jawatan Kepolisian Indonesia. Dalam peleburan tersebut disadari adanya kepolisian negara yang dipimpin secara sentral, baik di bidang kebijaksanaan siasat kepolisian maupun administratif, organisatoris.
[sunting]Zaman Demokrasi Parlementer[rujukan?]
Dengan dibentuknya negara kesatuan pada 17 Agustus 1950 dan diberlakukannya UUDS 1950 yang menganut sistem parlementer, Kepala Kepolisian Negara tetap dijabat R.S. Soekanto yang bertanggung jawab kepada perdana menteri/presiden.
Waktu kedudukan Polri kembali ke Jakarta, karena belum ada kantor digunakan bekas kantor
Hoofd van de Dienst der Algemene Politie di Gedung
Departemen Dalam Negeri. Kemudian R.S. Soekanto merencanakan kantor sendiri di Jalan Trunojoyo 3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dengan sebutan Markas Besar Djawatan Kepolisian Negara RI (DKN) yang menjadi Markas Besar Kepolisian sampai sekarang. Ketika itu menjadi gedung perkantoran termegah setelah Istana Negara.
Sampai periode ini kepolisian berstatus tersendiri antara sipil dan militer yang memiliki organisasi dan peraturan gaji tersendiri. Anggota Polri terorganisir dalam
Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia (P3RI) tidak ikut dalam
Korpri, sedangkan bagi istri polisi semenjak zaman revolusi sudah membentuk organisasi yang sampai sekarang dikenal dengan nama
Bhayangkari tidak ikut dalam
Dharma Wanita ataupun
Dharma Pertiwi. Organisasi P3RI dan Bhayangkari ini memiliki ketua dan pengurus secara demokratis dan pernah ikut Pemilu 1955 yang memenangkan kursi di Konstituante dan Parlemen. Waktu itu semua gaji pegawai negeri berada di bawah gaji angkatan perang, namun P3RI memperjuangkan perbaikan gaji dan berhasil melahirkan Peraturan Gaji Polisi (PGPOL) di mana gaji Polri relatif lebih baik dibanding dengan gaji pegawai negeri lainnya (mengacu standar PBB).
Dalam periode demokrasi parlementer ini perdana menteri dan kabinet berganti rata-rata kurang satu tahun. Polri yang otonom di bawah perdana menteri membenahi organisasi dan administrasi serta membangun laboratorium forensik, membangun Polisi Perairan (memiliki kapal polisi berukuran 500 ton) dan juga membangun Polisi Udara serta mengirim ratusan perwira Polri belajar ke luar negeri, terutama ke Amerika Serikat.
[rujukan?]Dengan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, setelah kegagalan Konstituante, Indonesia kembali ke
UUD 1945, namun dalam pelaksanaannya kemudian banyak menyimpang dari UUD 1945. Jabatan Perdana Menteri (Alm. Ir.
Juanda) diganti dengan sebutan Menteri Pertama, Polri masih tetap di bawah pada Menteri Pertama sampai keluarnya
Keppres No. 153/1959, tertanggal 10 Juli di mana Kepala Kepolisian Negara diberi kedudukan Menteri Negara ex-officio.
Pada tanggal 13 Juli 1959 dengan
Keppres No. 154/1959 Kapolri juga menjabat sebagai Menteri Muda Kepolisian dan Menteri Muda Veteran. Pada tanggal 26 Agustus 1959 dengan Surat Edaran Menteri Pertama No. 1/MP/RI1959, ditetapkan sebutan Kepala Kepolisian Negara diubah menjadi Menteri Muda Kepolisian yang memimpin Departemen Kepolisian (sebagai ganti dari Djawatan Kepolisian Negara).
Waktu Presiden Soekarno menyatakan akan membentuk ABRI yang terdiri dari Angkatan Perang dan Angkatan Kepolisian, R.S. Soekanto menyampaikan keberatannya dengan alasan untuk menjaga profesionalisme kepolisian. Pada tanggal 15 Desember 1959 R.S. Soekanto mengundurkan diri setelah menjabat Kapolri/Menteri Muda Kepolisian, sehingga berakhirlah karier Bapak Kepolisian RI tersebut sejak 29 September 1945 hingga 15 Desember 1959.
Dengan
Tap MPRS No. II dan III tahun 1960 dinyatakan bahwa
ABRI terdiri atas Angkatan Perang dan Polisi Negara. Berdasarkan Keppres No. 21/1960 sebutan Menteri Muda Kepolisian ditiadakan dan selanjutnya disebut Menteri Kepolisian Negara bersama Angkatan Perang lainnya dan dimasukkan dalam bidang keamanan nasional.
Tanggal 19 Juni 1961, DPR-GR mengesahkan UU Pokok kepolisian No. 13/1961. Dalam UU ini dinyatakan bahwa kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI yang sama sederajat dengan TNI AD, AL, dan AU.
Dengan Keppres No. 94/1962, Menteri Kapolri, Menteri/KASAD, Menteri/KASAL, Menteri/KSAU, Menteri/Jaksa Agung, Menteri Urusan Veteran dikoordinasikan oleh Wakil Menteri Pertama bidang pertahanan keamanan. Dengan Keppres No. 134/1962 menteri diganti menjadi Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian (Menkasak).
Kemudian Sebutan Menkasak diganti lagi menjadi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak) dan langsung bertanggung jawab kepada presiden sebagai kepala pemerintahan negara. Dengan Keppres No. 290/1964 kedudukan, tugas, dan tanggung jawab Polri ditentukan sebagai berikut:
- Alat Negara Penegak Hukum.
- Koordinator Polsus.
- Ikut serta dalam pertahanan.
- Pembinaan Kamtibmas.
- Kekaryaan.
- Sebagai alat revolusi.
Berdasarkan Keppres No. 155/1965 tanggal 6 Juli 1965, pendidikan AKABRI disamakan bagi Angkatan Perang dan Polri selama satu tahun di Magelang. Sementara di tahun 1964 dan 1965, pengaruh PKI bertambah besar karena politik NASAKOM Presiden Soekarno, dan PKI mulai menyusupi memengaruhi sebagian anggota ABRI dari keempat angkatan.
Karena pengalaman yang pahit dari peristiwa G30S/PKI yang mencerminkan tidak adanya integrasi antar unsur-unsur ABRI, maka untuk meningkatkan integrasi ABRI, tahun 1967 dengan SK Presiden No. 132/1967 tanggal 24 Agustus 1967 ditetapkan Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Bindang Pertahanan dan Keamanan yang menyatakan ABRI merupakan bagian dari organisasi Departemen Hankam meliputi AD, AL, AU , dan AK yang masing-masing dipimpin oleh Panglima Angkatan dan bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya kepada Menhankam/Pangab. Jenderal Soeharto sebagai Menhankam/Pangab yang pertama.
Setelah Soeharto dipilih sebagai presiden pada tahun 1968, jabatan Menhankam/Pangab berpindah kepada Jenderal M. Panggabean. Kemudian ternyata betapa ketatnya integrasi ini yang dampaknya sangat menyulitkan perkembangan Polri yang secara universal memang bukan angkatan perang.
Pada tahun 1969 dengan Keppres No. 52/1969 sebutan Panglima Angkatan Kepolisian diganti kembali sesuai UU No. 13/1961 menjadi Kepala Kepolisian Negara RI, namun singkatannya tidak lagi KKN tetapi Kapolri. Pergantian sebutan ini diresmikan pada tanggal 1 Juli 1969.
Pada HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1969 sebutan Panglima AD, AL, dan AU diganti menjadi Kepala Staf Angkatan. Pada kesempatan tersebut anggota AL danAU memakai tanda TNI di kerah leher, sedangkan Polri memakai tanda Pol. Maksudnya untuk menegaskan perbedaan antara Angkatan Perang dan Polisi.
Organisasi Polri disusun secara berjenjang dari tingkat pusat sampai ke kewilayahan. Organisasi Polri Tingkat Pusat disebut Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri); sedang organisasi Polri Tingkat Kewilayahan disebut Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah (Polda). dan di tingkat kota/kabupaten disebut (Polres)
Daftar tanda kepangkatan Polri